Revolusi teknologi informatika dan komunikasi telah mendorong lahirnya demokratisasi gelombang ketiga (lihat misalnya pandangan Samuel P. Huntington[1]), yang pada gilirannya telah mendorong adanya gerakan desentralisasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Definisi tentang desentralisasi yang ditulis oleh para ahli jumlahnya sangat banyak. Mereka menulis dengan latar belakang politik, pengalaman dan pengaruh bentuk negara di mana mereka tinggal. Agar diperoleh pandangan konsep yang kontekstual, di dalam definisi desentralisasi dikemukakan pula menurut berbagai undang-undang yang pernah digunakan di Indonesia, terutama tiga undang-undang yang terakhir yakni UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Alasannya adalah karena para penyelenggara pemerintahan negara maupun pemerintahan daerah secara kultural masih sangat dipengaruhi oleh ketiga UU tersebut, terutama UU Nomor 5 Tahun 1974 yang sempat digunakan selama 25 tahun.
Setelah membahas tentang pengengertian desentralisasi dari berbagai sudut pandang, selanjutnya akan dibahas mengenai tujuan desentralisasi serta jenis-jenis desentralisasi dilihat dari dimensi dan derajadnya.
Melalui submodul 1, pembaca diharapkan dapat memahami :
1. Pengertian desentralisasi;
2. Tujuan desentralisasi;
3. Dimensi dan derajad desentralisasi.
Perdebatan mengenai definisi serta ruang lingkup desentralisasi sama serunya seperti perdebatan tentang definisi demokrasi. Secara etimologis, kata desentralisasi berasal dari gabungan dua kata “de” dan “sentralisasi”. Kata de berarti gerak menjauh, gerak memudar, atau melepaskan diri seperti yang digunakan pula dalam kata de-kolonisasi, de-birokratisasi dan lain sebagainya. Kata sentralisasi berarti pemusatan kekuasaan di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian secara etimologis, desentralisasi adalah gerakan menjauh atau memudar, melepaskan diri dari sentralisasi.
Dalam Glossary World Bank dikemukakan bahwa desentralisasi adalah “ A process of transferring responsibility, authority, and accountability for specific or broad management functions to lower levels within an organization, system, or program”. Artinya, desentralisasi adalah sebuah proses pemindahan tanggung jawab, kewenangan dan akuntabilitas mengenai fungsi-fungsi manajemen secara khusus ataupun luas kepada aras yang lebih rendah dalam suatu organisasi, sistem atau program.
Definisi desentralisasi yang dikemukakan di atas disusun dalam konteks organisasi, sistem ataupun program, bukan dalam konteks negara. Definisi di atas misalnya dapat dibandingkan dengan pandangan Litvack & Seddon yang mengemukakan bahwa desentralisasi adalah : “ transfer of authority and responsibility for public function from central to sub-ordinate or quasi-independent government organization or the private sector “. Definisi desentralisasi dari Litvack dan Seddon, dipahami dalam konteks hubungan pemerintah yang mewakili negara dengan entitas lainnya meliputi organisasi pemerintah sub-nasional, organisasi pemerintah yang semi-bebas serta sektor swasta.
Menurut Rondinelli & Cheema dilihat dari sudut pandang kebijakan dan administrasi, desentralisasi dapat dimaknai sebagai : “transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administrative dari pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit -unit administrative lokal, organisasi semi otonom dan organisasi parastatal, pemerintahan lokal, atau organisasi nonpemerintah”.
Dalam konteks negara, dibedakan antara desentralisasi di negara berbentuk federal dengan negara berbentuk kesatuan (unitaris). Dalam negara berbentuk federal, negara bagian atau provinsi dapat ada lebih dahulu dibanding negara federalnya, sehingga sumber kekuasaan justru berada di negara bagian atau provinsinya. Pemerintah federal tidak boleh mencampuri urusan negara bagian atau provinsi kecuali yang telah ditetapkan dalam konstitusi negara federal. Dengan demikian isi urusan pemerintahan negara bagian lebih luas dibandingkan isi urusan pemerintahan negara federalnya. Urusan pemerintahan yang ditangani oleh pemerintah negara federal adalah urusan moneter, fiskal nasional, politik luar negeri, peradilan tinggi, pertahanan, keamanan nasional, teknologi tinggi. Selebihnya menjadi urusan pemerintahan negara bagian atau provinsi.
Pada negara berbentuk kesatuan atau unitaris, pemerintah pusat dibentuk terlebih dahulu, kemudian pemerintah pusat mentransfer sebagian kekuasaannya kepada organisasi pemerintah subnasional, organisasi semi-otonom maupun organisasi nonpemerintah untuk mengelola sebagian fungsi-fungsi publik.
Dari penjelasan di atas dapat dimaknai bahwa dalam negara unitaris, sumber kewenangan yang ditransfer kepada daerah otonom berasal dari pemerintah pusat.
Dalam beberapa hal desentralisasi dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih luwes. Dengan kata lain, desentralisiasi memberi dukungan yang lebih konstruktif dalam pengembilan keputusan. Hal ini sejalan dengan pendapat Douglas Mc. Gregor yang mengatakan bahwa : “ Jika kita dapat menekan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang lebih rendah, maka kita akan cenderung memperoleh keputusan-keputusan yang lebih baik”.
Lebih lanjut Douglas Mc. Gregor (dalam Pamudji, 1984:3 menekankan bahwa : ‘Desentralisasi bukan saja akan memperbaiki kualitas dan keputusan-keputusan yang diambil tetapi juga akan dapat memperbaiki kualitas dari pada pengambilan keputusan. Dalam hubungan ini pakar tersebut menyimpulkan bahwa “People tend to grow and develop more rapidly and they are motivated more effectively” jika wewenang keputusan didesentralisasikan.
Pernyataan-pernyataan pakar tersebut mendorong perlunya asas desentralisasi diterapkan kedalam setiap organisasi yang besar. Dengan pengambilan keputusan pada tingkat bawah organisasi dipandang sebagai jalan terbaik untuk melahirkan keputusan-keputusan yang lebih sesuai dengan kepentingan organisasi.
Desentralisiasi pada hakekatnya merupakan konsep yang lahir setelah sentralisasi mencapai wujudnya. Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Paul Appleby (dalam Pamudji, 1984 : 5 ) yang mengatakan bahwa : “it is imposible to decentralize until administrative power has been centralized”.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa konsep desentralisasi tetap berlandaskan pada The Philosophy of Superiors sehingga menurut Pamudji (1984 : 5) bahwa “Desentralisasi akan berhubungan dengan permasalahan tentang sejauh mana top manajemen percaya pada organisasi bawahannya, betapapun desentralisasi dibutuhkan dalam proses administrasi namun tetap merupakan sesuatu yang bermula dan sekaligus bertumpu pada kemauan politik dari top manajemen. Desentralisasi juga adalah cara atau sistem untuk mewujudkan asas demokrasi, yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan negara.
Pada hakekatnya secara prosesual desentralisasi berawal dengan pembentukan Daerah Otonom, dan perwujudannya di tingkat daerah ialah Otonomi Daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bhenyamin Hoessein bahwa : Desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dan atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Dengan demikian konsep desentralisasi sesungguhnya mengandung dua pengertian yaitu : 1) Desentralisasi itu adalah pembentukan daerah otonom yang sekaligus diberikan wewenang tertentu kepadanya untuk diatur dan diurus sendiri. 2) Desentralisasi dapat juga berarti sebagai penyerahan wewenang tambahan kepada daerah otonom yang telah terbentuk. (Bhenyamin Hoessein,
Definisi tentang desentralisasi yang dikemukakan oleh para pakar selama ini didasarkan pada sudut pandang yang berbeda-beda sehingga sulit untuk diambil defenisi yang paling tepat dan relevan. Walaupun demikian, perlu diketengahkan beberapa batasan yang diajukan oleh para pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian mendasar tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Handbook of Public Administration yang diterbitkan oleh PBB (United Nations, 1961 : 64). menyebutkan bentuk-bentuk desentralisasi sebagai: The two principal forms of decentralization of governmental power and functions are deconcentration to area offices of administration and devolution to state and local authorities. (Kedua bentuk yang paling pokok dari desentralisasi kekuasaan pemerintah dan fungsi-fungsinya adalah dekonsentrasi pemerintahan wilayah dan devolusi (pelimpahan kekuasaan) pada kewenangan-kewenangan pemerintah daerah.
Area offices administration adalah suatu perangkat wilayah yang berada di daerah. Kepada pejabatnya oleh departemen pusat dilimpahkan wewenang dan tanggung jawab bidang tertentu yang bertindak sebagai perwakilan departemen pusat untuk melaksanakan fungsi bidang tertentu yang bersifat administrative tanpa menerima pelimpahan kewenangan secara penuh (final authority). Pertanggungjawaban akhir tetap berada pada departemen pusat. Dikemukakan bawha “the arrangement is administrative in nature and implies no transfer of final authority from the ministry, whose responsibility continues” ( Pengaturannya itu hanya bersifat administratif, dan implikasinya bukan penyerahan kewenangan penuhn, tetapi pertanggungjawaban akhir tetap pada pemerintah pusat (United Nations, 1961:64). Hal ini berbeda dengan devolution, dimana sebagian kewenangan yang diserahkan kepada badan politik di deaerah itu merupakan kewenangan penuh untuk mengambil keputusan, baik secara politik maupun secara administrative. Sifatnya adalah penyerahan nyata yang berupa fungsi dan kewenangan, bukan hanya sekedar pelimpahan. Ditegaskan bahwa “this type of arrangement has a political as well as an administrative character”.
Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan dunia ketiga. Banyak negara bahkan telah melakukan perubahan struktur organisasi pemerintahan ke arah desentralisasi. Minat terhadap desentralisasi ini juga senada dengan kepentingan yang semakin besar dari berbagai badan pembangunan internasional (Conyers,[12] 1983 : 97). Kini desentralisasi telah tampil universal dan diakomodasi dalam berbagai pandangan yang berbeda. Untuk memahami keberadaan dan arti penting local government sebagai konsekuensi desentralisasi ini maka sebaiknya perlu disimak perkembangan teoritis dari berbagai perspektif yang ada dalam memandang local government sebagaimana dipaparkan oleh Smith [13](1985, 18-45). Terdapat tiga perspektif dalam melihat desentralisasi, yakni liberal democracy, economic interpretation, dan marxist interpretation.
Dalam pandangan demokrasi liberal, local government membawa dua manfaat pokok. Pertama, ia memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi nasional karena local government itu mampu menjadi sarana bagi pendidikan politik rakyat, dan memberikan pelatihan bagi kepemimpinan politik, serta mendukung penciptaan stabilitas politik. Lebih jelas lagi, Hoessein [14](2000) menambahkan bahwa dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangat erat.
Kedua, local government mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat (locality). Sebagaimana diingatkan oleh Hoessein [15](2001a) bahwa local government dan local autonomy tidak dicerna sebagai daerah atau pemerintah daerah tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian keduanya bersifat lokalitas karena basis politiknya adalah lokalitas tersebut bukan bangsa. Makna lokalitas ini juga tercermin dalam berbagai istilah di berbagai negara yang merujuk pada maksud yang sama. Commune di Perancis, Gemeinde di Jerman, Gementee di Belanda, dan Municipio di Spanyol yang kemudian menyerupai Municipality di Amerika Serikat (Norton[16], 1997: 23-24).
Manfaat bagi masyarakat setempat ini adalah adanya political equality, accountability, dan responsiveness. Sementara itu, dalam pandangan yang senada Antoft & Novack [17](1998: 155-159) juga mengungkapkan manfaat dari local government ini dalam beberapa hal, yakni : accountability, accessibility, responsiveness, opportunity for experimentation, public choice, spread of power, dan democratic values. Dalam interpretasi ekonomi (baca pula Stoker, [18]1991: 238-242, mengenai public choice theory), desentralisasi merupakan medium penting dalam meningkatkan kesejahteraan pribadi melalui pilihan publik. Menurut perspektif ini, individu-individu diasumsikan akan memilih tempat tinggalnya dengan membandingkan berbagai paket pelayanan dan pajak yang ditawarkan oleh berbagai kota yang berbeda. Individu yang rasional akan memilih tempat tinggal yang akan memberikan pilihan paket yang terbaik. Sedangkan Campo dan Sundaram[19] mengemukakan bahwa desentralisasi penting untuk kestabilan politik (political stability), keefektifan pemberian pelayanan public (effective service delivery), pengurangan kemiskinan (poverty reduction), dan menciptakan keadilan atau kesetaraan (equity).
Manfaat yang bisa dipetik dari local government dalam perspektif ini meliputi: pertama, adanya daya tanggap publik terhadap preferensi individual (public responsiveness to individual preferences). Barang dan pelayanan publik yang ditawarkan oleh pemerintah daerah, tidak seperti swasta, akan dinikmati oleh seluruh penduduk yang relevan, sehingga konsumsi oleh satu penduduk tidak akan mengurangi jatah penduduk yang lain.
Pemerintah daerah juga akan menjamin keterjangkauan biaya penyediaan barang dan pelayanan publik, yang apabila diberikan oleh swasta akan menjadi tidak efektif Selain itu, local government juga memberikan cara agar preferensi penduduk dapat dikomunikasikan melalui pemilihan dan prosedur politik lainnya. Kedua, local government memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan akan barang-barang publik (the demand for public goods). ‘Demand’ dalam preferensi pasar swasta lebih mudah diketahui melalui kemauan untuk membayar, akan tetapi dalam politik, ia sulit diidentifikasi karena relasi yang rumit antara barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik, partisipasi, dan kepemimpinan.
Desentralisasi mampu mengurangi persoalan ini dengan meningkatkan jumlah unit-unit pemerintahan dan derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan publik. Ketiga, desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih baik dalam menyediakan penawaran barang-barang publik (the supply of public goods). Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelayanan dan barang publik diselenggarakan tersentralisasi. Semakin besar organisasinya maka semakin besar pula kecenderungannya untuk memberikan pelayanan. Semakin monopolistik pemerintah maka semakin kecil insentif dan inovatifnya. Berdasar pada teori, yurisdiksi terfragmentasi akan lebih memberikan kepuasan kepada konsumen daripada kewenangan yang terkonsolidasi.
Desentralisasi akan memberikan peluang antar yurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam memberikan kepuasan kepada publik atas penyediaan barang dan layanannya. Interpretasi Marxist tampaknya masih cenderung melihat negara sebagai satu kesatuan dan tidak perlu dipisah-pisah antar wilayah geografis.
Terdapat beberapa penjelasan yang melandasi ketidakberpihakan pandangan marxist terhadap desentralisasi. Pertama, pandangan ini melihat bahwa pembagian wilayah dalam konteks desentralisasi hanya akan menciptakan kondisi terjadinya akumulasi modal sehingga memunculkan kembali kaum kapitalis. Kedua, desentralisasi juga akan mempengaruhi konsumsi kolektif sehingga akan dipolitisasi. Konsumsi kolektif dimaksudkan untuk memberikan pelayanan atas dasar kepentingan semua kelas.
Desentralisasi hanya akan menghasilkan ketidak-adilan baru dalam konsumsi kolektif antar wilayah. Ketiga, meskipun demokrasi pada dasarnya akan menempatkan mayoritas dalam pemerintahan daerah (yang berarti seharusnya kelas pekerja yang mendominasi, tetapi ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh kaum kapitalis untuk menghalang-halangi munculnya kelas pekerja dalam pemerintahan. Lembaga-lembaga perwakilan dalam pemerintahan daerah tetap merupakan simbol demokrasi liberal dan tetap akan dikuasai oleh kaum kapitalis. Keempat, dalam kaitannya dengan hubungan antar pemerintahan, maka pemerintah daerah hanya menjadi kepanjangan aparat pemerintah pusat untuk menjaga kepentingan monopoli kapital.
Dalam bidang perencanaan, desentralisasi juga tidak akan pernah menguntungkan daerah-daerah pinggiran dan membiarkannya dengan melindungi daerah kapitalis. Desentralisasi juga menghindarkan redistribusi keuangan dan pajak dari daerah kaya ke daerah miskin. Desentralisasi hanya akan menghilangkan tanggung jawab kaum borjuis terhadap daerah-daerah yang tertekan. Kelima, terdapat berbagai rintangan mengenai bagaimana demokrasi lokal akan berjalan dalam suasana desentralisasi. Rintangan ini mencakup aspek ekologis, politik, dan ekonomi yang menyebabkan demokrasi di tingkat lokal hanya akan mengalami kegagalan. Menurut pandangan Marxist semua ini hanya akan dapat ditanggulangi oleh sentralisasi yang bertujuan untuk redistnbusi dan keadilan.
Berdasarkan berbagai pandangan para pakar sebagaimana dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa desentralisasi mempunyai tiga tujuan yakni tujuan politik, tujuan administrasi serta tujuan sosial ekonomi. Pertama, tujuan politik, yakni untuk menciptakan infrastruktur dan suprastruktur politik yang lebih demokratis, sehingga semakin banyak rakyat sebagai pemilik kedaulatan ikut terlibat dalam proses perumusan, pelaksanaan, serta evaluasi kebijakan publik yang dibuat oleh pejabat publik – baik yang diangkat maupun yang dipilih. Melalui cara ini, maka hakekat desentralisasi yakni menyelesaikan masalah setempat- oleh orang setempat – dengan cara setempat, dapat terwujud.
Kedua, tujuan administrasi, yakni menciptakan bangunan birokrasi dan sistem pemerintahan yang dapat memberikan pelayanan lebih cepat, murah, mudah serta menjalankan sistemnya secara lebih efektif, efisien, “equity”( adil/setara) dan “economic”(mampu mengungkit potensi ekonomi masyarakat menjadi kekuatan yang nyata) ( Nilai 4E).
Ketiga, tujuan sosial ekonomi, yakni mampu membuat rakyat lebih sejahtera lahir dan batin, serta mampu memupuk modal sosial sehingga masyarakat memiliki ketahanan sosial yang tinggi, ditandai dengan tingkat konflik yang rendah.
Dalam kepustakaan Amerika Serikat, Harold F. Alderfer [20](1964 : 176) mengungkapkan bahwa terdapat dua prinsip umum dalam membedakan bagaimana pemerintah pusat mengalokasikan kekuasaannya ke bawah. Pertama, dalam bentuk deconcentration yang semata-mata menyusun unit administrasi atau field stations, baik itu tunggal ataupun ada dalam hirarki, baik itu terpisah maupun tergabung, dengan perintah mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan atau bagaimana mengerjakannya. Tidak ada kebijakan yang dibuat di tingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental yang diambil. Badan-badan pusat memiliki semua kekuasaan dalam dirinya, sementara pejabat lokal merupakan bawahan sepenuhnya dan mereka hanya menjalankan perintah. Kedua, dalam bentuk desentralisasi, dimana unit-unit lokal ditetapkan dengan kekuasaan tertentu atas bidang tugas tertentu. Mereka dapat menjalankan penilaian, inisiatif dan pemerintahannya sendiri.
Selain itu dalam khazanah Inggris, desentralisasi dapat dimengerti dalam dua jenis yang berbeda menurut Conyers[21] (1983 : 102) yang mendasarkan pada berbagai literatur berbahasa Inggris, yakni devolution yang menunjuk pada kewenangan politik yang ditetapkan secara legal dan dipilih secara lokal; dan deconcentration yang menunjuk pada kewenangan administratif yang diberikan pada perwakilan badan-badan pemerintah pusat..
Bagaimana Conyers[22] (1986 : 89) membagi jenis desentralisasi ini dan untuk menentukan suatu negara berdasar pada jenis yang mana tampaknya didasarkan pada beberapa pertimbangan aktivitas fungsional dari kewenangan yang ditransfer, jenis kewenangan atau kekuasaan yang ditransfer pada setiap aktivitas fungsional, tingkatan atau area kewenangan yang ditransfer, kewenangan atas individu, organisasi, atau badan yang ditransfer pada setiap tingkatan, dan kewenangan ditransfer dengan cara legal ataukah administratif.
Tampaknya apa yang dimaksud decentralization menurut Alderfer menyerupai dengan apa yang disebut sebagai devolution menurut Conyers. Sementara istilah deconcentration yang mereka berdua pergunakan juga menunjuk pada kondisi yang sama.
Pada sisi lain, Campo dan Sundaram[23] membedakan antara dimensi desentralisasi (dimension of decentralization) dan derajat desentralisasi (degrees of decentralization). Dimensi desentralisasi mencakup geografi, fungsional, politik/administrative, serta fiskal. Sedangkan dilihat derajatnya, desentralisasi mencakup dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi.
Selanjutnya Rondinelli dan kawan-kawan mengungkapkan jenis desentralisasi secara lebih luas (dalam Meenakshisundaram, [24]1999: 55-56), yakni mencakup : deconcentration (penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementerian atau badan pemerintah), delegation (perpindahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi di luar struktur birokrasi reguler dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat), devolution (pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan sub-nasional dengan aktivitas yang secara substansial berada di luar kontrol pemerintah pusat), dan privatization (memberikan semua tanggung jawab atas ftmgsi-fungsi kepada organisasi non pemerintah atau perusahaan swasta yang independen dari pemerintah).
Rondinelli, McCullough, & Johnson [25](1989) sendiri bahkan mengungkapkan bahwa bentuk desentralisasi ada lima macam, yakni privatization, deregulation of private service provision, devolution to local government, delegation to public enterprtses or publicly regulated private enterprises, and deconcentration of central government bureaucracy. Pengertian desentralisasi tersebut menyerupai jenis desentralisasi yang diungkapkan oleh Cohen & Peterson [26](1999) yang terbagi dalam deconcentration, devolution, dan delegation (yang mencakup pula privatization). Jika semula privatisasi berdiri sendiri, kini Cohen dan Peterson justru memasukkannya sebagai bagian dari delegasi. Pembedaan ini didasarkan pada enam pendekatan, yakni : pembedaan berdasar asal mula sejarah, berdasarkan hirarki dan fungsi, berdasarkan masalah yang diatasi dan nilai dari para investigatornya, berdasar pola struktur dan fungsi administrasi, berdasar pada pengalaman negara tertentu, dan yang terakhir berdasar pada berbagai tujuan politik, spasial, pasar, dan administrasi.
Hoessein [27](2001b) mengungkapkan bahwa devolution dalam khazanah Inggris tersebut merupakan padanan kata political decentralization dalam pustaka Amerika Serikat dan staatskundige decentralisatie dalam pustaka Belanda. Sementara deconcentration dalam khazanah Inggris merupakan padanan dari administrattve decentralization dalam pustaka Amerika Serikat dan ambtelyke atau administratieve
decentralisatie dalam khazanah Belanda. Dari perspektif pemerintahan Indonesia, devolution merupakan padanan dari desentralisasi, deconcentration merupakan padanan dari dekonsentrasi, dan delegation adalah padanan dari desentralisasi fungsional.
Selain itu, dalam perkembangan sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, mulai dari masa Hindia Belanda sampai Indonesia modern telah dikenal pula beberapa jenis desentralisasi dalam arti luas. Selain desentralisasi dalam arti sempit (devolution, political decentralization) dan dekonsentrasi yang telah banyak diulas di atas, dikenal pula jenis mede bewind dan vrij bestuur(Sinjal,[28] 2001). Mede bewind biasanya diartikan sebagai tugas pembantuan yang berarti hak menjalankan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah pihak atasan itu (The Liang Gie,[29] 1965 : 112). Rohdewohld [30](1995: 55) mengungkapkan makna yang hampir sama tentang mede bewind namun dengan bahasa yang berbeda sebagai fungsi tertentu yang berada di bawah yurisdiksi pemerintah pusat yang dijalankan oleh unit administrasi pemerintah daerah otonom atas perintah pemerintah pusat. Pemerintah pusat tetap mempertahankan yurisdiksinya dalam hal perencanaan dan pendanaannya. Vrij bestuur dapat diartikan kalau ada keragu-raguan tentang siapa yang berwenang terhadap suatu masalah maka daerah terdekatlah yang mengambil wewenang itu (Sinjal,[31] 2001). Dasar pemikiran timbulnya vrij bestuur ini adalah karena kewenangan dapat dirinci satu per satu, tetapi tidak ada satu pun undang-undang yang mampu memprediksi masalah-masalah kemasyarakatan yang berkembang sangat dinamis sehingga bila ada kevakuman kewenangan penanganan masalah tertentu maka dengan azas vrij bestuur ini diharapkan ada kepastian jalan keluamya segera.
Perdebatan teoritis tentang konsep desentralisasi akhirnya sampai juga kepada perdebatan tentang derajat desentralisasi yang dewasa ini telah merambah kedalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di berbagai belahan dunia. Kini wujudnya berupa bentuk pro dan kotra terhadap kebijakan desentralisasi pemerintahan. Tetapi gerakan desentralisasi justru semakin meluas dan ekstensif termasuk di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah bagimana mengukur derajat desentralisasi itu sehingga dapat mengetahui derajat desentraliasi sistem pemerintahan suatu negara.
Bukan suatu hal mudah memang untuk menentukan apakah suatu negara lebih desentralisasi dibandingkan dengan negara lainnya karena memang ada tiga persoalan teoritis seperti diungkap James Fesler (1965) sebagaimana dikutip Smith[32] (1985;84), dalam menentukan derajat desentralisasi. Persoalan tersebut adalah : pertama, persoalan bahasa ketika istilah setralisasi dan desentralisasi telah mendikotomi pikiran kita; kedua, persoalan pengukuran dan kelemahan indeks desentralisasi; ketiga, persoalan membedakan desentralisasi antar wilayah dari suatu negara. Tetapi tampaknya derajat desentralisasi tetap dapat disusun berdasarkan faktor-faktor tertentu meskipun masih mengandung perdebatan.
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menyusun derajat desentralisasi dikemukakan oleh Khairul Muluk[33] (2009, 24 – 25) dengan mengemukakan; pertama, derajat desentralisasi dapat dilihat dari fungsi atau urusan yang dijalankan oleh pememrintah daerah. Semakin banyak fungsi yang didesentralisasikan maka semakin tinggi pula derajat desentralisasinya. Kedua, adalah jenis pendelegasian fungsi, ada dua jenis pendelegasian fungsi yakni; open-end arrangement atau general competence dan ultra-vires doctrine. Jika suatu pemerintah daerah memiliki fungsi atas tipe pendelegasian general competence maka dapat dianggap derajat desentralisasinya lebih besar. Ketiga, adalah jenis kontrol pemerintah pusat atas pemerintah daerah. Kontrol represif derajat desentralisasinya lebih besar ketimbang kontrol yang bersifat preventif.
Faktor yang keempat, adalah berkaitan dengan keuangan daerah yang menyangkut sejauh mana adanya desentralisasi pengambilan keputusan baik tentang penerimaan maupun pengeluaran pemerintah daerah. Kelima, adalah tentang metode pembentukan pemerintahan daerah. Derajat desentralisasi akan lebih tinggi jika sumber otoritas daerah berasal dari ketetapan legislatif ketimbang pendelegasian dari eksekutif.
Keenam, adalah derajat ketergantungan finasial pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. semain besar presentasi bantuan pemerintah pusat dibandingkan pendapatan asli daerah (PAD) maka semakin besar ketergantungan daerah tersebut secara finasil terhadap pusat. ini berari bahwa derajat desentralisasinya lebih rendah. Ketujuh, adalah besarnya wilayah pemerintahan daerah. Ada anggapan bahwa semakin luas wilayahnya maka semakin besar derajat desentralisanya karena pemerintah daerah lebih dapat mengatasi persoalan dominasi pusat atas daerah. Namun demikian, hubungan antara besaran wilayah de ngan kontrol yang masih terbuka untuk diperdebatkan.
Faktor kedelapan, adalah politik partai. Jika perpolitikan di tingkat lokal masih didominasi organisasi politik tingkat nasional maka derajat desentralisasinya dinggap lebih rendah jika dibandingkan dengan jika perpolitikan tingkat lokal lebih didominasi oleh organisasi politik lokal dan lebih mandiri dari organisasi politik nasional. Sedangkan faktor lainnya adalah struktur dari sistem pemerintahan desentralistik. Sistem pemerintahan yang sederhana dianggap memiliki derajat desentralisasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan yang lebih kompleks.
Aspek lain yang dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan derajat desentralisasi adalah menyangkut desentralisasi kekuasaan pada tingkat tertentu. Ada tinga tingkatan desentralisasi jika kita berbicara tentang kekuasaan. Pertama, pada tingkat wilayah (desentralisasi negara kesatuan) atau negara bagian (desentralisasi negera federal) dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih. Kedua, pada tingkatan distrik atau yang setara dengan jumlah penduduk 50.000 – 200.000. Ketiga, pada tingkatan desa atau masyarakat. Disinilah hakekat desentralisasi itu sebenarnya, karena pada tingkatan inilah masyarakat bersentuhan langsung dengan para pemimpin yang akan memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh mereka.
Kebijakan desntralisasi yang dijalankan di Indonesia sesuai UU No. 22 tahun 1999 tidak lagi menggunakan istilah tingkatan karena hubungan antara provinsi dan daerah kini bersifat coordinate dan independent. Distribusi fungsi diberikan pada provinsi atau pada tingkatan pertama dalam pembagianm diatas dan kabupaten/kota yang setara dengan tingkatan kedua dalam pembagian diatas. Selain itu UU No. 22 tahun 1999 ini juga mengatur tentang distribusi fungsi pada pemerintahan desa yang setara dengan tingkatan ketiga dalam pembagian di atas. Tetapi dalam pelaksanaanya distribusi fungsi pada pemerintahan desa dijalankan di bawah subordinasi dan bergantung pada daerah kabupaten/kota. Hal yang sama juga masih diberlakukan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 22 tahun 1999.
Definisi tentang desentralisasi yang ditulis oleh para ahli jumlahnya sangat banyak. Mereka menulis dengan latar belakang politik, pengalaman dan pengaruh bentuk negara di mana mereka tinggal. Agar diperoleh pandangan konsep yang kontekstual, di dalam definisi desentralisasi dikemukakan pula menurut berbagai undang-undang yang pernah digunakan di Indonesia, terutama tiga undang-undang yang terakhir yakni UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Alasannya adalah karena para penyelenggara pemerintahan negara maupun pemerintahan daerah secara kultural masih sangat dipengaruhi oleh ketiga UU tersebut, terutama UU Nomor 5 Tahun 1974 yang sempat digunakan selama 25 tahun.
Setelah membahas tentang pengengertian desentralisasi dari berbagai sudut pandang, selanjutnya akan dibahas mengenai tujuan desentralisasi serta jenis-jenis desentralisasi dilihat dari dimensi dan derajadnya.
Melalui submodul 1, pembaca diharapkan dapat memahami :
1. Pengertian desentralisasi;
2. Tujuan desentralisasi;
3. Dimensi dan derajad desentralisasi.
DEFINISI DESENTRALISASI
Perdebatan mengenai definisi serta ruang lingkup desentralisasi sama serunya seperti perdebatan tentang definisi demokrasi. Secara etimologis, kata desentralisasi berasal dari gabungan dua kata “de” dan “sentralisasi”. Kata de berarti gerak menjauh, gerak memudar, atau melepaskan diri seperti yang digunakan pula dalam kata de-kolonisasi, de-birokratisasi dan lain sebagainya. Kata sentralisasi berarti pemusatan kekuasaan di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian secara etimologis, desentralisasi adalah gerakan menjauh atau memudar, melepaskan diri dari sentralisasi.
Dalam Glossary World Bank dikemukakan bahwa desentralisasi adalah “ A process of transferring responsibility, authority, and accountability for specific or broad management functions to lower levels within an organization, system, or program”. Artinya, desentralisasi adalah sebuah proses pemindahan tanggung jawab, kewenangan dan akuntabilitas mengenai fungsi-fungsi manajemen secara khusus ataupun luas kepada aras yang lebih rendah dalam suatu organisasi, sistem atau program.
Definisi desentralisasi yang dikemukakan di atas disusun dalam konteks organisasi, sistem ataupun program, bukan dalam konteks negara. Definisi di atas misalnya dapat dibandingkan dengan pandangan Litvack & Seddon yang mengemukakan bahwa desentralisasi adalah : “ transfer of authority and responsibility for public function from central to sub-ordinate or quasi-independent government organization or the private sector “. Definisi desentralisasi dari Litvack dan Seddon, dipahami dalam konteks hubungan pemerintah yang mewakili negara dengan entitas lainnya meliputi organisasi pemerintah sub-nasional, organisasi pemerintah yang semi-bebas serta sektor swasta.
Menurut Rondinelli & Cheema dilihat dari sudut pandang kebijakan dan administrasi, desentralisasi dapat dimaknai sebagai : “transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administrative dari pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit -unit administrative lokal, organisasi semi otonom dan organisasi parastatal, pemerintahan lokal, atau organisasi nonpemerintah”.
Dalam konteks negara, dibedakan antara desentralisasi di negara berbentuk federal dengan negara berbentuk kesatuan (unitaris). Dalam negara berbentuk federal, negara bagian atau provinsi dapat ada lebih dahulu dibanding negara federalnya, sehingga sumber kekuasaan justru berada di negara bagian atau provinsinya. Pemerintah federal tidak boleh mencampuri urusan negara bagian atau provinsi kecuali yang telah ditetapkan dalam konstitusi negara federal. Dengan demikian isi urusan pemerintahan negara bagian lebih luas dibandingkan isi urusan pemerintahan negara federalnya. Urusan pemerintahan yang ditangani oleh pemerintah negara federal adalah urusan moneter, fiskal nasional, politik luar negeri, peradilan tinggi, pertahanan, keamanan nasional, teknologi tinggi. Selebihnya menjadi urusan pemerintahan negara bagian atau provinsi.
Pada negara berbentuk kesatuan atau unitaris, pemerintah pusat dibentuk terlebih dahulu, kemudian pemerintah pusat mentransfer sebagian kekuasaannya kepada organisasi pemerintah subnasional, organisasi semi-otonom maupun organisasi nonpemerintah untuk mengelola sebagian fungsi-fungsi publik.
Dari penjelasan di atas dapat dimaknai bahwa dalam negara unitaris, sumber kewenangan yang ditransfer kepada daerah otonom berasal dari pemerintah pusat.
Dalam beberapa hal desentralisasi dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih luwes. Dengan kata lain, desentralisiasi memberi dukungan yang lebih konstruktif dalam pengembilan keputusan. Hal ini sejalan dengan pendapat Douglas Mc. Gregor yang mengatakan bahwa : “ Jika kita dapat menekan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang lebih rendah, maka kita akan cenderung memperoleh keputusan-keputusan yang lebih baik”.
Lebih lanjut Douglas Mc. Gregor (dalam Pamudji, 1984:3 menekankan bahwa : ‘Desentralisasi bukan saja akan memperbaiki kualitas dan keputusan-keputusan yang diambil tetapi juga akan dapat memperbaiki kualitas dari pada pengambilan keputusan. Dalam hubungan ini pakar tersebut menyimpulkan bahwa “People tend to grow and develop more rapidly and they are motivated more effectively” jika wewenang keputusan didesentralisasikan.
Pernyataan-pernyataan pakar tersebut mendorong perlunya asas desentralisasi diterapkan kedalam setiap organisasi yang besar. Dengan pengambilan keputusan pada tingkat bawah organisasi dipandang sebagai jalan terbaik untuk melahirkan keputusan-keputusan yang lebih sesuai dengan kepentingan organisasi.
Desentralisiasi pada hakekatnya merupakan konsep yang lahir setelah sentralisasi mencapai wujudnya. Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Paul Appleby (dalam Pamudji, 1984 : 5 ) yang mengatakan bahwa : “it is imposible to decentralize until administrative power has been centralized”.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa konsep desentralisasi tetap berlandaskan pada The Philosophy of Superiors sehingga menurut Pamudji (1984 : 5) bahwa “Desentralisasi akan berhubungan dengan permasalahan tentang sejauh mana top manajemen percaya pada organisasi bawahannya, betapapun desentralisasi dibutuhkan dalam proses administrasi namun tetap merupakan sesuatu yang bermula dan sekaligus bertumpu pada kemauan politik dari top manajemen. Desentralisasi juga adalah cara atau sistem untuk mewujudkan asas demokrasi, yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan negara.
Pada hakekatnya secara prosesual desentralisasi berawal dengan pembentukan Daerah Otonom, dan perwujudannya di tingkat daerah ialah Otonomi Daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bhenyamin Hoessein bahwa : Desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dan atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Dengan demikian konsep desentralisasi sesungguhnya mengandung dua pengertian yaitu : 1) Desentralisasi itu adalah pembentukan daerah otonom yang sekaligus diberikan wewenang tertentu kepadanya untuk diatur dan diurus sendiri. 2) Desentralisasi dapat juga berarti sebagai penyerahan wewenang tambahan kepada daerah otonom yang telah terbentuk. (Bhenyamin Hoessein,
Definisi tentang desentralisasi yang dikemukakan oleh para pakar selama ini didasarkan pada sudut pandang yang berbeda-beda sehingga sulit untuk diambil defenisi yang paling tepat dan relevan. Walaupun demikian, perlu diketengahkan beberapa batasan yang diajukan oleh para pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian mendasar tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Handbook of Public Administration yang diterbitkan oleh PBB (United Nations, 1961 : 64). menyebutkan bentuk-bentuk desentralisasi sebagai: The two principal forms of decentralization of governmental power and functions are deconcentration to area offices of administration and devolution to state and local authorities. (Kedua bentuk yang paling pokok dari desentralisasi kekuasaan pemerintah dan fungsi-fungsinya adalah dekonsentrasi pemerintahan wilayah dan devolusi (pelimpahan kekuasaan) pada kewenangan-kewenangan pemerintah daerah.
Area offices administration adalah suatu perangkat wilayah yang berada di daerah. Kepada pejabatnya oleh departemen pusat dilimpahkan wewenang dan tanggung jawab bidang tertentu yang bertindak sebagai perwakilan departemen pusat untuk melaksanakan fungsi bidang tertentu yang bersifat administrative tanpa menerima pelimpahan kewenangan secara penuh (final authority). Pertanggungjawaban akhir tetap berada pada departemen pusat. Dikemukakan bawha “the arrangement is administrative in nature and implies no transfer of final authority from the ministry, whose responsibility continues” ( Pengaturannya itu hanya bersifat administratif, dan implikasinya bukan penyerahan kewenangan penuhn, tetapi pertanggungjawaban akhir tetap pada pemerintah pusat (United Nations, 1961:64). Hal ini berbeda dengan devolution, dimana sebagian kewenangan yang diserahkan kepada badan politik di deaerah itu merupakan kewenangan penuh untuk mengambil keputusan, baik secara politik maupun secara administrative. Sifatnya adalah penyerahan nyata yang berupa fungsi dan kewenangan, bukan hanya sekedar pelimpahan. Ditegaskan bahwa “this type of arrangement has a political as well as an administrative character”.
TUJUAN DESENTRALISASI
Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan dunia ketiga. Banyak negara bahkan telah melakukan perubahan struktur organisasi pemerintahan ke arah desentralisasi. Minat terhadap desentralisasi ini juga senada dengan kepentingan yang semakin besar dari berbagai badan pembangunan internasional (Conyers,[12] 1983 : 97). Kini desentralisasi telah tampil universal dan diakomodasi dalam berbagai pandangan yang berbeda. Untuk memahami keberadaan dan arti penting local government sebagai konsekuensi desentralisasi ini maka sebaiknya perlu disimak perkembangan teoritis dari berbagai perspektif yang ada dalam memandang local government sebagaimana dipaparkan oleh Smith [13](1985, 18-45). Terdapat tiga perspektif dalam melihat desentralisasi, yakni liberal democracy, economic interpretation, dan marxist interpretation.
Dalam pandangan demokrasi liberal, local government membawa dua manfaat pokok. Pertama, ia memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi nasional karena local government itu mampu menjadi sarana bagi pendidikan politik rakyat, dan memberikan pelatihan bagi kepemimpinan politik, serta mendukung penciptaan stabilitas politik. Lebih jelas lagi, Hoessein [14](2000) menambahkan bahwa dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangat erat.
Kedua, local government mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat (locality). Sebagaimana diingatkan oleh Hoessein [15](2001a) bahwa local government dan local autonomy tidak dicerna sebagai daerah atau pemerintah daerah tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian keduanya bersifat lokalitas karena basis politiknya adalah lokalitas tersebut bukan bangsa. Makna lokalitas ini juga tercermin dalam berbagai istilah di berbagai negara yang merujuk pada maksud yang sama. Commune di Perancis, Gemeinde di Jerman, Gementee di Belanda, dan Municipio di Spanyol yang kemudian menyerupai Municipality di Amerika Serikat (Norton[16], 1997: 23-24).
Manfaat bagi masyarakat setempat ini adalah adanya political equality, accountability, dan responsiveness. Sementara itu, dalam pandangan yang senada Antoft & Novack [17](1998: 155-159) juga mengungkapkan manfaat dari local government ini dalam beberapa hal, yakni : accountability, accessibility, responsiveness, opportunity for experimentation, public choice, spread of power, dan democratic values. Dalam interpretasi ekonomi (baca pula Stoker, [18]1991: 238-242, mengenai public choice theory), desentralisasi merupakan medium penting dalam meningkatkan kesejahteraan pribadi melalui pilihan publik. Menurut perspektif ini, individu-individu diasumsikan akan memilih tempat tinggalnya dengan membandingkan berbagai paket pelayanan dan pajak yang ditawarkan oleh berbagai kota yang berbeda. Individu yang rasional akan memilih tempat tinggal yang akan memberikan pilihan paket yang terbaik. Sedangkan Campo dan Sundaram[19] mengemukakan bahwa desentralisasi penting untuk kestabilan politik (political stability), keefektifan pemberian pelayanan public (effective service delivery), pengurangan kemiskinan (poverty reduction), dan menciptakan keadilan atau kesetaraan (equity).
Manfaat yang bisa dipetik dari local government dalam perspektif ini meliputi: pertama, adanya daya tanggap publik terhadap preferensi individual (public responsiveness to individual preferences). Barang dan pelayanan publik yang ditawarkan oleh pemerintah daerah, tidak seperti swasta, akan dinikmati oleh seluruh penduduk yang relevan, sehingga konsumsi oleh satu penduduk tidak akan mengurangi jatah penduduk yang lain.
Pemerintah daerah juga akan menjamin keterjangkauan biaya penyediaan barang dan pelayanan publik, yang apabila diberikan oleh swasta akan menjadi tidak efektif Selain itu, local government juga memberikan cara agar preferensi penduduk dapat dikomunikasikan melalui pemilihan dan prosedur politik lainnya. Kedua, local government memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan akan barang-barang publik (the demand for public goods). ‘Demand’ dalam preferensi pasar swasta lebih mudah diketahui melalui kemauan untuk membayar, akan tetapi dalam politik, ia sulit diidentifikasi karena relasi yang rumit antara barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik, partisipasi, dan kepemimpinan.
Desentralisasi mampu mengurangi persoalan ini dengan meningkatkan jumlah unit-unit pemerintahan dan derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan publik. Ketiga, desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih baik dalam menyediakan penawaran barang-barang publik (the supply of public goods). Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelayanan dan barang publik diselenggarakan tersentralisasi. Semakin besar organisasinya maka semakin besar pula kecenderungannya untuk memberikan pelayanan. Semakin monopolistik pemerintah maka semakin kecil insentif dan inovatifnya. Berdasar pada teori, yurisdiksi terfragmentasi akan lebih memberikan kepuasan kepada konsumen daripada kewenangan yang terkonsolidasi.
Desentralisasi akan memberikan peluang antar yurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam memberikan kepuasan kepada publik atas penyediaan barang dan layanannya. Interpretasi Marxist tampaknya masih cenderung melihat negara sebagai satu kesatuan dan tidak perlu dipisah-pisah antar wilayah geografis.
Terdapat beberapa penjelasan yang melandasi ketidakberpihakan pandangan marxist terhadap desentralisasi. Pertama, pandangan ini melihat bahwa pembagian wilayah dalam konteks desentralisasi hanya akan menciptakan kondisi terjadinya akumulasi modal sehingga memunculkan kembali kaum kapitalis. Kedua, desentralisasi juga akan mempengaruhi konsumsi kolektif sehingga akan dipolitisasi. Konsumsi kolektif dimaksudkan untuk memberikan pelayanan atas dasar kepentingan semua kelas.
Desentralisasi hanya akan menghasilkan ketidak-adilan baru dalam konsumsi kolektif antar wilayah. Ketiga, meskipun demokrasi pada dasarnya akan menempatkan mayoritas dalam pemerintahan daerah (yang berarti seharusnya kelas pekerja yang mendominasi, tetapi ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh kaum kapitalis untuk menghalang-halangi munculnya kelas pekerja dalam pemerintahan. Lembaga-lembaga perwakilan dalam pemerintahan daerah tetap merupakan simbol demokrasi liberal dan tetap akan dikuasai oleh kaum kapitalis. Keempat, dalam kaitannya dengan hubungan antar pemerintahan, maka pemerintah daerah hanya menjadi kepanjangan aparat pemerintah pusat untuk menjaga kepentingan monopoli kapital.
Dalam bidang perencanaan, desentralisasi juga tidak akan pernah menguntungkan daerah-daerah pinggiran dan membiarkannya dengan melindungi daerah kapitalis. Desentralisasi juga menghindarkan redistribusi keuangan dan pajak dari daerah kaya ke daerah miskin. Desentralisasi hanya akan menghilangkan tanggung jawab kaum borjuis terhadap daerah-daerah yang tertekan. Kelima, terdapat berbagai rintangan mengenai bagaimana demokrasi lokal akan berjalan dalam suasana desentralisasi. Rintangan ini mencakup aspek ekologis, politik, dan ekonomi yang menyebabkan demokrasi di tingkat lokal hanya akan mengalami kegagalan. Menurut pandangan Marxist semua ini hanya akan dapat ditanggulangi oleh sentralisasi yang bertujuan untuk redistnbusi dan keadilan.
Berdasarkan berbagai pandangan para pakar sebagaimana dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa desentralisasi mempunyai tiga tujuan yakni tujuan politik, tujuan administrasi serta tujuan sosial ekonomi. Pertama, tujuan politik, yakni untuk menciptakan infrastruktur dan suprastruktur politik yang lebih demokratis, sehingga semakin banyak rakyat sebagai pemilik kedaulatan ikut terlibat dalam proses perumusan, pelaksanaan, serta evaluasi kebijakan publik yang dibuat oleh pejabat publik – baik yang diangkat maupun yang dipilih. Melalui cara ini, maka hakekat desentralisasi yakni menyelesaikan masalah setempat- oleh orang setempat – dengan cara setempat, dapat terwujud.
Kedua, tujuan administrasi, yakni menciptakan bangunan birokrasi dan sistem pemerintahan yang dapat memberikan pelayanan lebih cepat, murah, mudah serta menjalankan sistemnya secara lebih efektif, efisien, “equity”( adil/setara) dan “economic”(mampu mengungkit potensi ekonomi masyarakat menjadi kekuatan yang nyata) ( Nilai 4E).
Ketiga, tujuan sosial ekonomi, yakni mampu membuat rakyat lebih sejahtera lahir dan batin, serta mampu memupuk modal sosial sehingga masyarakat memiliki ketahanan sosial yang tinggi, ditandai dengan tingkat konflik yang rendah.
DIMENSI DESENTRALISASI
Dalam kepustakaan Amerika Serikat, Harold F. Alderfer [20](1964 : 176) mengungkapkan bahwa terdapat dua prinsip umum dalam membedakan bagaimana pemerintah pusat mengalokasikan kekuasaannya ke bawah. Pertama, dalam bentuk deconcentration yang semata-mata menyusun unit administrasi atau field stations, baik itu tunggal ataupun ada dalam hirarki, baik itu terpisah maupun tergabung, dengan perintah mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan atau bagaimana mengerjakannya. Tidak ada kebijakan yang dibuat di tingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental yang diambil. Badan-badan pusat memiliki semua kekuasaan dalam dirinya, sementara pejabat lokal merupakan bawahan sepenuhnya dan mereka hanya menjalankan perintah. Kedua, dalam bentuk desentralisasi, dimana unit-unit lokal ditetapkan dengan kekuasaan tertentu atas bidang tugas tertentu. Mereka dapat menjalankan penilaian, inisiatif dan pemerintahannya sendiri.
Selain itu dalam khazanah Inggris, desentralisasi dapat dimengerti dalam dua jenis yang berbeda menurut Conyers[21] (1983 : 102) yang mendasarkan pada berbagai literatur berbahasa Inggris, yakni devolution yang menunjuk pada kewenangan politik yang ditetapkan secara legal dan dipilih secara lokal; dan deconcentration yang menunjuk pada kewenangan administratif yang diberikan pada perwakilan badan-badan pemerintah pusat..
Bagaimana Conyers[22] (1986 : 89) membagi jenis desentralisasi ini dan untuk menentukan suatu negara berdasar pada jenis yang mana tampaknya didasarkan pada beberapa pertimbangan aktivitas fungsional dari kewenangan yang ditransfer, jenis kewenangan atau kekuasaan yang ditransfer pada setiap aktivitas fungsional, tingkatan atau area kewenangan yang ditransfer, kewenangan atas individu, organisasi, atau badan yang ditransfer pada setiap tingkatan, dan kewenangan ditransfer dengan cara legal ataukah administratif.
Tampaknya apa yang dimaksud decentralization menurut Alderfer menyerupai dengan apa yang disebut sebagai devolution menurut Conyers. Sementara istilah deconcentration yang mereka berdua pergunakan juga menunjuk pada kondisi yang sama.
Pada sisi lain, Campo dan Sundaram[23] membedakan antara dimensi desentralisasi (dimension of decentralization) dan derajat desentralisasi (degrees of decentralization). Dimensi desentralisasi mencakup geografi, fungsional, politik/administrative, serta fiskal. Sedangkan dilihat derajatnya, desentralisasi mencakup dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi.
Selanjutnya Rondinelli dan kawan-kawan mengungkapkan jenis desentralisasi secara lebih luas (dalam Meenakshisundaram, [24]1999: 55-56), yakni mencakup : deconcentration (penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementerian atau badan pemerintah), delegation (perpindahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi di luar struktur birokrasi reguler dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat), devolution (pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan sub-nasional dengan aktivitas yang secara substansial berada di luar kontrol pemerintah pusat), dan privatization (memberikan semua tanggung jawab atas ftmgsi-fungsi kepada organisasi non pemerintah atau perusahaan swasta yang independen dari pemerintah).
Rondinelli, McCullough, & Johnson [25](1989) sendiri bahkan mengungkapkan bahwa bentuk desentralisasi ada lima macam, yakni privatization, deregulation of private service provision, devolution to local government, delegation to public enterprtses or publicly regulated private enterprises, and deconcentration of central government bureaucracy. Pengertian desentralisasi tersebut menyerupai jenis desentralisasi yang diungkapkan oleh Cohen & Peterson [26](1999) yang terbagi dalam deconcentration, devolution, dan delegation (yang mencakup pula privatization). Jika semula privatisasi berdiri sendiri, kini Cohen dan Peterson justru memasukkannya sebagai bagian dari delegasi. Pembedaan ini didasarkan pada enam pendekatan, yakni : pembedaan berdasar asal mula sejarah, berdasarkan hirarki dan fungsi, berdasarkan masalah yang diatasi dan nilai dari para investigatornya, berdasar pola struktur dan fungsi administrasi, berdasar pada pengalaman negara tertentu, dan yang terakhir berdasar pada berbagai tujuan politik, spasial, pasar, dan administrasi.
Hoessein [27](2001b) mengungkapkan bahwa devolution dalam khazanah Inggris tersebut merupakan padanan kata political decentralization dalam pustaka Amerika Serikat dan staatskundige decentralisatie dalam pustaka Belanda. Sementara deconcentration dalam khazanah Inggris merupakan padanan dari administrattve decentralization dalam pustaka Amerika Serikat dan ambtelyke atau administratieve
decentralisatie dalam khazanah Belanda. Dari perspektif pemerintahan Indonesia, devolution merupakan padanan dari desentralisasi, deconcentration merupakan padanan dari dekonsentrasi, dan delegation adalah padanan dari desentralisasi fungsional.
Selain itu, dalam perkembangan sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, mulai dari masa Hindia Belanda sampai Indonesia modern telah dikenal pula beberapa jenis desentralisasi dalam arti luas. Selain desentralisasi dalam arti sempit (devolution, political decentralization) dan dekonsentrasi yang telah banyak diulas di atas, dikenal pula jenis mede bewind dan vrij bestuur(Sinjal,[28] 2001). Mede bewind biasanya diartikan sebagai tugas pembantuan yang berarti hak menjalankan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah pihak atasan itu (The Liang Gie,[29] 1965 : 112). Rohdewohld [30](1995: 55) mengungkapkan makna yang hampir sama tentang mede bewind namun dengan bahasa yang berbeda sebagai fungsi tertentu yang berada di bawah yurisdiksi pemerintah pusat yang dijalankan oleh unit administrasi pemerintah daerah otonom atas perintah pemerintah pusat. Pemerintah pusat tetap mempertahankan yurisdiksinya dalam hal perencanaan dan pendanaannya. Vrij bestuur dapat diartikan kalau ada keragu-raguan tentang siapa yang berwenang terhadap suatu masalah maka daerah terdekatlah yang mengambil wewenang itu (Sinjal,[31] 2001). Dasar pemikiran timbulnya vrij bestuur ini adalah karena kewenangan dapat dirinci satu per satu, tetapi tidak ada satu pun undang-undang yang mampu memprediksi masalah-masalah kemasyarakatan yang berkembang sangat dinamis sehingga bila ada kevakuman kewenangan penanganan masalah tertentu maka dengan azas vrij bestuur ini diharapkan ada kepastian jalan keluamya segera.
DERAJAT DESENTRALISASI
Perdebatan teoritis tentang konsep desentralisasi akhirnya sampai juga kepada perdebatan tentang derajat desentralisasi yang dewasa ini telah merambah kedalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di berbagai belahan dunia. Kini wujudnya berupa bentuk pro dan kotra terhadap kebijakan desentralisasi pemerintahan. Tetapi gerakan desentralisasi justru semakin meluas dan ekstensif termasuk di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah bagimana mengukur derajat desentralisasi itu sehingga dapat mengetahui derajat desentraliasi sistem pemerintahan suatu negara.
Bukan suatu hal mudah memang untuk menentukan apakah suatu negara lebih desentralisasi dibandingkan dengan negara lainnya karena memang ada tiga persoalan teoritis seperti diungkap James Fesler (1965) sebagaimana dikutip Smith[32] (1985;84), dalam menentukan derajat desentralisasi. Persoalan tersebut adalah : pertama, persoalan bahasa ketika istilah setralisasi dan desentralisasi telah mendikotomi pikiran kita; kedua, persoalan pengukuran dan kelemahan indeks desentralisasi; ketiga, persoalan membedakan desentralisasi antar wilayah dari suatu negara. Tetapi tampaknya derajat desentralisasi tetap dapat disusun berdasarkan faktor-faktor tertentu meskipun masih mengandung perdebatan.
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menyusun derajat desentralisasi dikemukakan oleh Khairul Muluk[33] (2009, 24 – 25) dengan mengemukakan; pertama, derajat desentralisasi dapat dilihat dari fungsi atau urusan yang dijalankan oleh pememrintah daerah. Semakin banyak fungsi yang didesentralisasikan maka semakin tinggi pula derajat desentralisasinya. Kedua, adalah jenis pendelegasian fungsi, ada dua jenis pendelegasian fungsi yakni; open-end arrangement atau general competence dan ultra-vires doctrine. Jika suatu pemerintah daerah memiliki fungsi atas tipe pendelegasian general competence maka dapat dianggap derajat desentralisasinya lebih besar. Ketiga, adalah jenis kontrol pemerintah pusat atas pemerintah daerah. Kontrol represif derajat desentralisasinya lebih besar ketimbang kontrol yang bersifat preventif.
Faktor yang keempat, adalah berkaitan dengan keuangan daerah yang menyangkut sejauh mana adanya desentralisasi pengambilan keputusan baik tentang penerimaan maupun pengeluaran pemerintah daerah. Kelima, adalah tentang metode pembentukan pemerintahan daerah. Derajat desentralisasi akan lebih tinggi jika sumber otoritas daerah berasal dari ketetapan legislatif ketimbang pendelegasian dari eksekutif.
Keenam, adalah derajat ketergantungan finasial pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. semain besar presentasi bantuan pemerintah pusat dibandingkan pendapatan asli daerah (PAD) maka semakin besar ketergantungan daerah tersebut secara finasil terhadap pusat. ini berari bahwa derajat desentralisasinya lebih rendah. Ketujuh, adalah besarnya wilayah pemerintahan daerah. Ada anggapan bahwa semakin luas wilayahnya maka semakin besar derajat desentralisanya karena pemerintah daerah lebih dapat mengatasi persoalan dominasi pusat atas daerah. Namun demikian, hubungan antara besaran wilayah de ngan kontrol yang masih terbuka untuk diperdebatkan.
Faktor kedelapan, adalah politik partai. Jika perpolitikan di tingkat lokal masih didominasi organisasi politik tingkat nasional maka derajat desentralisasinya dinggap lebih rendah jika dibandingkan dengan jika perpolitikan tingkat lokal lebih didominasi oleh organisasi politik lokal dan lebih mandiri dari organisasi politik nasional. Sedangkan faktor lainnya adalah struktur dari sistem pemerintahan desentralistik. Sistem pemerintahan yang sederhana dianggap memiliki derajat desentralisasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan yang lebih kompleks.
Aspek lain yang dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan derajat desentralisasi adalah menyangkut desentralisasi kekuasaan pada tingkat tertentu. Ada tinga tingkatan desentralisasi jika kita berbicara tentang kekuasaan. Pertama, pada tingkat wilayah (desentralisasi negara kesatuan) atau negara bagian (desentralisasi negera federal) dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih. Kedua, pada tingkatan distrik atau yang setara dengan jumlah penduduk 50.000 – 200.000. Ketiga, pada tingkatan desa atau masyarakat. Disinilah hakekat desentralisasi itu sebenarnya, karena pada tingkatan inilah masyarakat bersentuhan langsung dengan para pemimpin yang akan memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh mereka.
Kebijakan desntralisasi yang dijalankan di Indonesia sesuai UU No. 22 tahun 1999 tidak lagi menggunakan istilah tingkatan karena hubungan antara provinsi dan daerah kini bersifat coordinate dan independent. Distribusi fungsi diberikan pada provinsi atau pada tingkatan pertama dalam pembagianm diatas dan kabupaten/kota yang setara dengan tingkatan kedua dalam pembagian diatas. Selain itu UU No. 22 tahun 1999 ini juga mengatur tentang distribusi fungsi pada pemerintahan desa yang setara dengan tingkatan ketiga dalam pembagian di atas. Tetapi dalam pelaksanaanya distribusi fungsi pada pemerintahan desa dijalankan di bawah subordinasi dan bergantung pada daerah kabupaten/kota. Hal yang sama juga masih diberlakukan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 22 tahun 1999.
Mau mendapatkan pelayanan yang baik dan ramah???
BalasHapusModal Kecil bisa mendapatkan hasil yg luar biasa...
Untuk yang lagi galau, yang lagi bosan tidak tahu mau ngapain, tenang,,sekarang ada 288betting.com yang akan menghibur kalian sekaligus mengisi hari-hari kalian dengan games" online yang pastinya tidak akan mengecewakan kalian deh...dan tentu nya juga masih banyak lagi bonus tiap bulan nya buruannn,,,,yuk ikutan gabung bersama 288betting.com
Tersedia berbagai game di dalamnya :
* Sportsbook
* Kasino
* Togel
* Poker
* Number Games
* Slots
Kunjungi Situs Kami !!
Dapatkan Bonus Rollingan TO Sebesar 0,5% / Hari
Bonus Referral Sebesar 20% Seumur Hidup
dengan minimal deposit hanya Rp. 20.000 dan minimal withdraw Rp. 50.000
Info lebih lanjut silahkan hubungi CS 24/7 melalui :
* Livechat
* Whatsapp : +855888278896
* Facebook : Stefanie Huang
Salam Sukses 288betting.com
SITUS JUDI ONLINE TERPERCAYA DAN TERLENGKAP DENGAN PELAYANAN CS YANG RAMAH